Sabtu, 30 Oktober 2010

BERPIKIR KASIH VS. BERPIKIR MENANG-MENANG

Suatu malam, seorang guru meditasi pulang ke rumah dan mendapati pintu rumahnya terbuka lebar. Guru ini merasa heran karena ia ingat betul bahwa ia sudah menutup dan mengunci pintu sebelum pergi. Ternyata ada seorang pencuri di dalam rumahnya. Guru ini pun didera perasaan takut yang luar biasa, tetapi di saat sulit itu ia mengingat pelajaran yang sering ia berikan kepada murid-muridnya mengenai belas kasih. “Tempatkan dirimu pada posisinya,“ katanya membatin. Pikiran ini mengalahkan rasa takutnya dan membantunya berempati terhadap si pencuri.

Anda pasti sedang amat membutuhkan sesuatu, hingga ingin mengambil milik orang lain,” katanya kepada pencuri itu. “Ayo, duduklah, kubuatkan kopi. Mungkin ada yang bisa kubantu.”

Ketika mereka sudah duduk dan berbicara, sang guru mulai memahami pencuri itu dan kehidupannya. Ternyata ia seorang pengangguran, anak-anaknya masih kecil, dan mereka membutuhkan makanan dan pakaian. Semakin lama berbicara dengan pencuri itu, semakin ia diliputi perasaan kasihan. Maka sesudah menghabiskan kopinya, ia mengumpulkan pakaian, selimut dan makanan, kemudian memberikannya kepada pencuri itu. “Ini dia, “ katanya, “bawalah pulang untuk keluargamu.” Ketika pencuri sudah pergi, sang guru duduk bersila di lantai rumahnya yang kini kosong dan mulai bermeditasi. Sesungguhnya, ia masih merasa kasihan kepada si pencuri itu. “Seandainya aku memberikan lebih banyak kepada pencuri itu. Seandainya aku bisa memberikan perasaan bahagiaku ini kepadanya.”

Sementara itu, si pencuri yang belum pergi terlalu jauh kini dihantui perasaan bersalah. “Memang mudah mengambil sesuatu dari orang yang tidak kita kenal,” pikirnya. Namun karena sekarang ia sudah mengenal guru itu, ia merasa mencuri dari seorang teman. “Bukan begini cara hidup yang aku inginkan,” katanya dalam hati. Maka si pencuri kembali menyusuri jalan yang tadi ia lalui, menjumpai rumah guru itu lagi dan meletakkan barang-barang yang tadi dicurinya di depan pintu si guru. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan cara lain untuk menghidupi keluarganya.

Para pembaca yang budiman, betapa indahnya hidup ini bila kita senantiasa memiliki rasa kasih kepada sesama. Pakar kepemimpinan Stephen Covey mengatakan bahwa dasar hubungan antarmanusia adalah “berpikir menang-menang”. Namun melalui perenungan dan kontemplasi yang mendalam, saya menemukan bahwa menang-menang saja tidaklah memadai. Menurut saya, dasar segala dasar hubungan antarmanusia yang sejati adalah cinta dan kasih. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menang-menang memang akan menghasilkan kesuksesan, tetapi hanya dengan kasihlah kita akan mencapai kebahagiaan. Ketika berpikir menang-menang, kita sesungguhnya sedang menciptakan hubungan transaksional, bukan transformasional. Dasar menang-menang adalah hitung-hitungan bisnis. Dengan kata lain, berpikir menang-menang sesungguhnya adalah berpikir bahwa “saya hanya akan memberikan sesuatu kalau saya juga mendapatkan sesuatu yang setimpal”.

Ada banyak hubungan antarmanusia yang dilandaskan pada asas menang-menang. Bisnis, misalnya, pastilah dimulai dengan hitung-hitungan semacam ini. Bukankah memberikan sesuatu dalam bisnis senantiasa didasari pada keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi? Bahkan, perkawinan sekalipun sering dilandasi cara berpikir menang-menang ini. Bukankah ketika akan menikah dengan seseorang, kita selalu melakukan assessment mengenai apa yang kita dapatkan dari orang tersebut? Bukankah seorang ayah hanya akan mengizinkan anak gadisnya menikah dengan seseorang yang menguntungkannya? Bukankah dasar pernikahan adalah kesetimbangan antara kedua mempelai?

Namun, menang-menang sesungguhnya hanya akan menghasilkan sesuatu yang transaksional. Tidak ada kasih yang terlibat di dalamnya. Dalam konsep menang-menang segala sesuatunya sudah lunas, sudah tuntas, sudah selesai. Konsep menang-menang tidak menyisakan “utang budi” di dalamnya. Konsep ini tidak akan menghasilkan ikatan emosional apa pun.

Cinta mengatasi segala keterbatasan yang dikandung konsep menang-menang. Dalam cinta kita selalu berusaha memberikan lebih banyak daripada apa yang kita terima. Cinta selalu memastikan bahwa pihak lain mendapatkan lebih banyak ketimbang yang mereka berikan. Inilah yang akan menghasilkan keterikatan emosional. Dan inilah yang membuat hubungan kita selalu menghasilkan kebahagiaan.

Rumah tangga yang hanya didasari pertimbangan menang-menang tidaklah akan langgeng. Begitu keseimbangan mulai terganggu, begitu apa yang kita berikan tidak lagi sepadan dengan apa yang kita terima, maka kita telah berada di tepi jurang yang membahayakan. Begitu juga yang terjadi dalam dunia bisnis. Ketika keseimbangan mulai terganggu, ketika itu pulalah hubungan bisnis akan mengalami titik yang kritis. Namun, tidak demikian yang akan terjadi dengan hubungan yang dilandasi kasih.

Dalam kasih ketika kita memberi maka pada saat yang sama kita sesungguhnya sudah menerima. Ketika kita memberikan sedekah kepada seorang nenek tua di jalan raya dan nenek itu meneteskan air mata yang menandakan rasa haru yang mendalam, maka ketika itu pula kita menerima kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ketika kita memberikan perhatian kepada orang lain, dan orang tersebut menanggapi kita dengan wajah yang berseri-seri penuh suka cita, maka pada saat itulah kita mendapatkan kebahagiaan yang tak ada taranya. Ketika kita melayani pelanggan dengan setulus-tulusnya dan memberikan kepada mereka lebih banyak daripada uang yang mereka bayar, maka akan muncul perasaan kasih dalam bisnis, sebuah perasaan bahagia, merasa dibantu, dilayani, dimuliakan, dipentingkan. Bukankah hal-hal seperti ini sangat penting dalam bisnis? Bukankah perasaan seperti ini akan menghasilkan kebahagiaan baik bagi mereka yang dilayani maupun bagi mereka yang melayani? Bukankah yang kita cari dalam bisnis tidak hanya kesuksesan, tetapi juga kebahagiaan?

*) Penulis best seller The 7 Laws of Happiness & narasumber talkshow Smart Happiness di SmartFM Network.


0 komentar: